Sunday, November 13, 2011

KESETIAKAWANAN SOSIAL (Tugas Softskill)

Definisi Kesetiakawanan Sosial
Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera.
Menurut W.J.S. Poerwodarminta dalam kamus Bahasa Indonesia, ‘kesetiaan’ berasal dari kata dasar ‘setia’ yang berarti “tetap dan teguh hati (dalam keluarga, persahabatan).”
Istilah setia berarti pula “patuh dan taat (pada peraturan, kewajiban).” Misalnya, bagaimanapun berat tugas yang harus dijalankan, ia tetap setia (patuh dan taat) melakasanakannya. Istilah setia juga diartikan “berpegang teguh (dalam pendirian, janji).” Misalnya, walaupun hujan turun dengan lebatnya, ia tetap setia (berpegang teguh) memenuhi janji pergi ke rumah kawannya.
Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita.
Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.
Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap tahunnya.
HKSN yang kita peringati merupakan ungkapan rasa syukur dan hormat atas keberhasilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa kita. Peringatan HKSN yang kita laksanakan setiap tanggal 20 Desember juga merupakan upaya untuk mengenang kembali, menghayati dan meneladani semangat nilai persatuan dan kesatuan, nilai kegotong-royongan, nilai kebersamaan, dan nilai kekeluargaan seluruh rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan.

Nilai Moral Kesetiakawanan Sosial
Adapun nilai moral yang terkandung dalam kesetiakawanan sosial diantaranya sebagai berikut:
1.      Tolong menolong. Nilai moral ini tampak dalam kehidupan masyarakat, seperti: tolong menolong sesama tetangga. Misalnya membantu korban bencana alam atau menengok tetangga yang sakit.
2.      Gotong-royong, misalnya menggarap sawah atau membangun rumah.
3.      Kerjasama. Nilai moral ini mencerminkan sikap mau bekerjasama dengan orang lain walaupun berbeda suku bangsa, ras, warna kulit, serta tidak membeda-bedakan perbedaan itu dalam kerjasama.
4.      Nilai kebersamaan. Nilai moral ini ada karena adanya keterikatan diri dan kepentingan kesetiaan diri dan sesama, saling membantu dan membela. Contohnya menyumbang sesuatu ke tempat yang mengalami bencana, apakah itu kebanjiran, kelaparan atau diserang oleh bangsa lain.
Tolong Menolong
Dalam konsep tolong menolong yang popular kita ketahui dimasyarakat lebih kepada suatu kerja bersama untuk kepentingan individu atau keluarga tertentu. Biasanya yang punya pekerjaan selalu minta tolong dan sopan santun, meminta kesediaan orang lain untuk membantunya, dan pertolongan itu akan dibalas secara setimpal. Dalam tolong menolong digerakkan oleh asas timbale balik (reciprocity) artinya, siapa yang pernah menolong tentu akan menerima pertolongan balik dari pihak yang pernah ditolongnya. Jadi dalam tolong menolong adalah sejenis kerjasama antar individu atau antar kelompok yang didasarkan asas timbal balik. Karena itu juga dapat dipandang sebagai jenis pertukaran atau semacam asuransi sosial.

Gotong-Royong
Kita semua mengetahui bahkan sudah familier dengan Konsep Gotong Royong sebagai sebuah nilai kultural dasar masyarakat kita. Namun dalam beberapa kesempatan kebanyakan mencampuradukkan pengertian gotong royong dengan dengan dua nilai cultural penting lainnya yaitu tolong menolong dan kekeluargaan.
Di banyak tempat di Pulau Jawa, kegiatan gotong royong dalam istilah lokal disebut : sambatan, gentosan, kerjabakti, gugur gunung apabila kegiatan dilakukan ntuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tertentu, dan disebut “tetulung layat, “tilik” untuk jenis kegiatan yang berhubungan dengan kemalangan dan bencana. Jadi gotong royong adalah kegiatan kerjasama untuk menyelesaikan suatu “gawe tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan umum : “dari kita, ole kita, dan untuk kita”.
Dalam gotong royong sumbangan yang diberikan seseorang apakah dalam bentuk benda, jasa atau tenaga adalah untuk kepentingan bersama seluruh anggota kelompok. Jadi yang disebut didalamnya adalah komitmen dan semangat menjatikan diri dengan kelompok , semangat solidaritas sebagai anggota kelompok. Sementara apabila seseorang tidak ikut dalam gotong royong dapat dipandang sebagai “licik tidak punya kebersamaan dan hanya mau enaknya sendiri.

Kekeluargaan
Secara linguistic kekeluargaan berarti hal ikhwal yang berhubungan dengan keluarga. Kekeluargaan dalam berbagai istilah dapat disejajarkan persaudaraan, kolektifisme, dan komunalisme. Istilah ini semua mengacu pada suatu suasana kehidupan social yang terjalin antara anggota-anggota suatu kelompok social, dimana setiap orang merasa berkerabat dengan yang lain, hubungan persaudaraan (Kinship), hubungan kekerabatan adalah pertemanan, prinsip solidaritas, dan nilai kesetiakawanan. Hukum pertemanan, prinsip solidaritas, saling Bantu, saling merasakan, dan seterusnya inilah inti dari hubungan kekeluargaan.
Dari sini kita memahami nilai cultural kekeluargaan (share proverty) bermakna untuk solidaritas kelompok kekerabatan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Dari semangat nilai cultural ini memberikan sinyal bahwa, kewajiban setiap warga untuk menolong secara sukarela kepada mereka yang sengsara ataupun hidup dibawah batas kebutuhan hidup minimumnya.
Berdasarkan uraian ketiga nilai-nilai dasar Kesetiakawanan Sosial tersebut, secara pandangan umum dapat disampaikan bahwa kehidupan bermasyarakat kita sebetulnya masih penuh dengan suasana : religius, kerukunan, gotong royong, tolong menolong tanpa pamrih, kekeluargaan, dan solidaritas antar sesama. Walaupun disisi lain ada sebagian warga yang bersifat individualistis (self interest) dan lain-lain. Dan meskipun dalam kenyataan hal-hal tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari yang normal dari masyarakat manapun.
Bagaimanapun situasi yang dialami masyarakat kita tentunya cukup unutk menyadarkan bahwa nilai-nilai dasar Kesetiakawanan Sosial perlu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam. Apakah nilai-nilai tersebut masih relevan dengan kenyataa yang berlaku ? Dan bagaimanakah masa depan nilai-nilai tersebut ? Semuanya tentunya berpulang kepada diri kita, masyarakat kita dan dalam skope yang lebih besar pada Republik Indonesia tercinta.

Pentingnya Promosi Kesetiakawanan Sosial
Semenjak gerakan reformasi digulirkan, beberapa tuntutan perubahan terjadi secara besar-besaran. Di berbagai sektor kehidupan menghendaki adanya proses penyesuaian menuju tata sosial, politik, ekonomi dan sosial budaya yang lebih baik. Cara-cara demokratis yang mencakup semangat toleransi, pluralisme, penghargaan atas minoritas, kebersamaan dan pengembangan lokalitas mulai menguat kembali. Persoalannya adalah transformasi atas perubahan baru ini ternyata justru tidak berjalan secara cepat, tepat dan relative normal. Justru berbagai fakta membuktikan bahwa masa transisi cenderung mengisyaratkan adanya benturan-benturan baru.
Berbagai harapan optimisme positif atas perubahan itu ternyata tersirat pula sejumlah keraguan dan kebimbangan, terutama jika menyaksikan rangkaian persoalan konflik social berbasiskan etnik, suku, agama antar golongan (Sara) antar kelompok warga komunitas bertubi-tubi terjadi. Demikian juga bencana alam dan gempa bumi susul menyusul, banjir tahunan yang sekarang tidak lagi tahunan bahkan cenderung lebih sering datang, bencana Lumpur Lapindo yang tiada kunjung usai menambah menambah duka dan kepediha yang mendalam. Bukan saja melahirkan korban materi dan nyawa yang tidak berdosa yang ribuan jumlahnya, juga ketakutan secara psikologis massa terus menghantui. Kuat dugaan, fenomena ini terjadi akibat kuatnya ketergantungan warga terhadap otoritas atau kekuasaan dan disisi lain hilangnya kemandirian warga dalam menyelesaikan persoalan sosial.
Namun nilai-nilai Kesetiakawanan Sosial warga masyarakatitu kelihatan mulai pudar, jika tidak boleh disebut nyaris punah. Persoalannya adalah bagaimana Kesetiakawanan Sosial (nilai-nilai) itu digali kembali dalam konteks masyarakat pluralis dan realitas perubahan seperti saat ini ? Ini memang bukan pekerjaan mudah, namun kiranya kita mencoba mengeksplore nilai-nilai social yang mungkin mendasari Kesetiakawanan Sosial berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis ketika menangani suatu Problem Sosial yang terjadi di masyarakat.

Kesetiakawanan Terkikis Zaman
Gagasan kesetiakawanan berawal dari solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Solidaritas muncul karena kesamaan nasib (sejarah), kesamaan wilayah (teritorial), kesamaan kultural, dan bahasa. Menurut Ernest Renan [1823-1892], semua itu merupakan modal untuk membentuk nation. Kesadaran kebangsaan memuncak seiring deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Sebuah semangat mengubah ”keakuan” menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”.
Selanjutnya, kesetiakawanan sosial nasional tumbuh kuat karena faktor penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan mengejawantah dalam perjuangan mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. HKSN sendiri bermula dari semangat solidaritas nasional antara TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda yang kembali pada 19 Desember 1948. Akhirnya kebersamaan yang dilandasi semangat rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa menjadi senjata ampuh untuk memerdekakan bangsa.
Namun, fakta lain menunjukkan, nilai-nilai kesetiakawanan kian terkikis. Saat ini solidaritas itu hanya muncul di ruang politik dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan. Menguat pula solidaritas kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme. Di bidang ekonomi, nilai solidaritas belum menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal. Menguatnya kesenjangan di berbagai ruang publik merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial. Basis-basis perekonomian dikuasai segelintir orang yang memiliki berbagai akses. Juga terjadi kesenjangan antarwilayah, antara pusat dan daerah, antarpulau, antaretnik, dan antargolongan.
Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (2006), ada tiga hal yang menggerus nilai kesetiakawanan sosial. Pertama, menguatnya semangat individualis karena globalisasi. Gelombang globalisasi dengan paradigma kebebasan, langsung atau tidak, berdampak pada lunturnya nilai-nilai kultural masyarakat.
Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Akibatnya, semangat kedaerahan dan komunal lebih dominan daripada nasionalisme.
Ketiga, lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait keteladanan para kepemimpinan yang kian memudar. Terkikisnya nilai kesetiakawanan menimbulkan ketidakpercayaan sosial, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antara masyarakat dan masyarakat, karena terpecah dalam aneka golongan.

Menemukan Kembali Kesetiakawanan
Dalam perjalanan sejarah, kita memerlukan momentum untuk membangkitkan semangat dan daya implementasi baru. Di tengah krisis finansial global, mungkin sudah saatnya menemukan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial guna menjawab aneka masalah kebangsaan.
Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut Komaruddin Hidayat (2008) grand solidarity untuk kemudian diaplikasi ke dalam grand reality. Grand solidarity adalah rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, tekad, dan visi yang diajarkan founding father’s. Adapun grand reality adalah upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke konteks masa kini. Pada level praksis, program-program pembangunan harus dilandasi semangat kesetiakawanan yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan. Pemerintah wajib memberi umpan (akses permodalan), memandu bagaimana cara memancing (akses SDM), menunjukkan di mana memancingnya (akses teknologi dan informasi), serta menunjukkan di mana menjual ikannya (akses market).
Di tingkat masyarakat, dapat ditradisikan satu orang kaya yang tinggal di permukiman miskin membantu orang miskin. Inilah yang disebut kepedulian sosial. Jika hal ini dilakukan secara simultan, akan tercipta keharmonisan di tingkat negara maupun kehidupan masyarakat.
Maka, inilah saatnya kita menemukan kembali solidaritas sosial nasional dan jati diri bangsa. Kita harus menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepedulian dalam menghadapi tantangan kebangsaan.

No comments:

Post a Comment